Soal Kasus Dana Hibah, Biro Hukum Setprov Kaltara: Gubernur Dinilai Tidak Urgensi untuk Sampaikan Klarifikasi

TANJUNG SELOR, takanews.com – Masih seputar kasus penyalahgunaan dana hibah dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara kepada PT Perseroda Benuanta Kaltara Jaya (BKJ) yang telah mempidanakan Haeruddin Rauf selaku Direktur dan mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltara, Hamsi (almarhum). Belakang beredar isu, dalam kasus ini turut menyeret nama Gubernur, selaku pemangku kepentingan tertinggi di pemerintahan provinsi Kaltara.
Sebelumnya, telah diberitakan pernyataan Kepala DLH Kaltara, Hairul Anwar. Dalam wawancaranya (7/8/2025), Ia menuturkan bahwa pihaknya, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Kaltara, baik DLH maupun Gubernur menganggap tidak ada hal yang urgent atau penting untuk diklarifikasi. Sebab menurutnya, definisi klarifikasi itu konotasinya ketika terjadi masalah.
Menurut Hairul, klarifikasi itu hanya diperlukan jika dianggap ada masalah, jadi tegas dia, tidak ada hal lagi yang perlu diklarifikasi karena masalah telah dinyatakan inkrah yang dengan kata lain masalah ini telah selesai.
Sementara itu, secara terpisah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Provinsi Kaltara, Radiah BT Yolohio, melalui Kepala Bagian Bantuan Hukum Indrayadi Purnama Saputra membenarkan apa yang disampaikan Kepala DLH, terkait pernyataannya terhadap kasus ini.
Indra mengatakan, apa yang disampaikan Hairul itu sudah tepat, bahkan bernilai edukasi.
Dalam wawancaranya, Indra menuturkan bahwa seharusnya, jika ada pihak yang tidak puas dengan putusan hakim, ada kesempatan mengajukan keberatan, lewat banding. Juga masih ada forum Kasasi kalau tidak puas, bahkan sampai ke pengajuan PK (Peninjauan Kembali).
“Kalau keberatan dengan putusan hakim bisa banding, atau tingkat kasasi hingga tingkatan PK. Bukan mengajukan keberatan di forum yang tidak pada tempatnya alias salah kamar,” ujarnya kepada awak media, Senin (11/08/2025).
Menurutnya, menyikapi konteks yang disinggung ini, pemerintah selalu mengedepankan etika birokrasi, karena mengklarifikasi hasil putusan inkrah itu sama halnya dengan meragukan kredibilitas lembaga pengadilan.
“Kalau bicara soal putusan inkrah, ini kan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mengikat. Sehingga kita tidak boleh berspekulasi. Apalagi lembaga pemerintah, tentu punya etika berbirokrasi. Pihak pemerintah bukan tidak punya jawabannya, bukan tidak punya argumentasi hukum yang berdasar. Pemerintah punya justifikasi hukumnya,” jelas Indra.
Dia menguraikan, putusan inkrah ini menandakan bahwa negara melalui lembaga peradilan telah menyelesaikan perkara tersebut secara tuntas terhadap pihak-pihak yang sah secara hukum terbukti melakukan tindak pidana sesuai amar putusan pengadilan.
Sambungnya menjelaskan, bahwa memang terlepas sebuah kasus yang inkrah itu adalah putusan yang final terhadap terdakwa, namun bukan menutup kemungkinan muncul terdakwa lain, peluang itu tetap ada.
“Tapi kita kembali, kan negara menyediakan forum banding, kasasi, bahkan negara juga menyediakan forum PK kalau pihak keberatan masih merasa tidak puas,” jelasnya.
Dijelaskan lagi, dalam sebuah surat keputusan, diktum dan konsideran itu dua bagian penting yang saling melengkapi, termasuk dalam konteks putusan perkara BKJ.
“Konsideran berisi pertimbangan dan dasar hukum yang mendasari pembuatan keputusan, sedangkan diktum berisi ketetapan-ketetapan inti dari keputusan tersebut,” ujarnya.
Indra juga menjelaskan, pihak yang merasa dirugikan atau keberatan bisa mengajukan upaya hukum Banding dan Kasasi. Ada forumnya sendiri. Bukan di forum untuk membangun narasi yang menggiring publik agar tidak percaya pada hasil putusan inkrah.
“Bahkan hukum menyediakan forum PK jika merasa masih tidak puas. Bukan opsi mengajukan keberatan di forum media pemberitaan yang motivasi dan orientasi narasinya menjurus meragukan keputusan inkrah. Di mana media tersebut main tampung saja tanpa memfilter perkara apa yg jelas-jelas telah dinyatakan inkrah,” ujar Indra menerangkan.
“Mestinya saat putusan di pengadilan, bisa mengajukan upaya hukum pada forumnya, yaitu banding hingga tingkat kasasi. Bukan di forum pemberitaan yang menggiring opini publik dengan narasi-narasi yang terkesan mencari kesalahan. Forumnya ada di pengadilan banding, dan masih ada forum kasasi, bahkan PK,” imbuhnya.
Menurut Indra, Gubernur bukanlah pribadi yang anti terhadap kritik sepanjang itu dinilainya konstruktif. Tidak ada pemerintah yang lepas dan bebas dari kritik. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak anti kritik. Pemerintah yang sehat adalah pemerintah yang tidak membungkam kritik. Pemerintah Kaltara tidak pernah menutup ruang kritik kepada publik, kepada seluruh pihak.
“Pemerintah Provinsi Kaltara di bawah komando Pak Zainal, bukanlah pemerintah yang anti kritik. Tetapi isi di pemberitaan itu ‘kan sifatnya tidak mengindikasikan kritik, melainkan mengarah pada penggiringan opini publik tentang ketidak-adilan hukum. Kemudian Pemerintah yang dalam hal ini Gubernur selaku pemangku kebijakan Pemprov diminta untuk mengklarifikasi hasil putusan inkrah oleh pengadilan,” kata Indra.
Lanjut Indra mengatakan, sehingga pihaknya sampai pada titik kesimpulan bahwa ada indikasi hanya mencari-cari kesalahan, dan andai pihak pemerintah mau tega, pihaknya boleh saja melaporkan media terkait ke Dewan Pers, bahkan ke meja hukum, karena dianggap hal ini tidak relevan yang bersifat ada muatan perbuatan secara melawan hukum.
“Tapi lagi-lagi saya tegaskan, Pak Gubernur bukanlah pribadi yang anti kritik, meskipun di pemberitaan itu sebenarnya juga bukan kritik, melainkan lebih mengarah pada ketidakpercayaan inkrah yang diputus oleh pengadilan,” lanjutnya menjelaskan.
Lanjutnya lagi, jika mengajukan keberatan seharusnya ada forumnya sendiri. Bukan mengajukan keberatan di forum media, di mana medianya juga tidak memfilter mana berita yang layak tayang atau tidak, apakah pihak keberatan sudah melakukan upaya hukum banding saat dibacakan amar putusan di persidangan perkara.
“Lagipun, ini kasus sudah inkrah di Juli 2024 lalu, artinya sudah basi jika media kemudian mengangkatnya sekarang (Agustus 2025). Jangan asal main hantam kromo,” tegasnya.
Menurut Indra, berbeda halnya jika perkara ini belum sampai ke titik inkrah atau sudah sampai ke level Kasasi atau PK, lalu media menemukan ketidak-adilan hukum yang jika diberitakan itu bisa dipertanggungjawabkannya secara hukum, barulah media tersebut dianggapnya sudah memenuhi unsur etika kejurnalisan.
Media massa bukan opsi yang bisa dijadikan ruang keberatan hukum, bukan tempat untuk mengajukan laporan hukum.
Dianalogikannya, sama halnya jika terjadi peristiwa hukum, atau tindak kriminal tertentu, maka langkah tepat yang mestinya dilakukan itu adalah melaporkannya ke kepolisian, bukan ke media sosial.
“Membuat laporan resmi ke kepolisian, karena kalau ke Media Sosial, itu bukan laporan resmi. Bahkan berpotensi dilaporkan resmi ke Kepolisian jika postingannya ada unsur melanggar hukum,” tutur Indra menjelaskan.
Tak hanya itu, Indra menuturkan namun itu bukan berarti membatasi ruang pihak media dalam melakukan tugas dan fungsi kontrol sosialnya.
“Pihak media boleh kok dan sah memberitakan, jika seyogianya pihak keberatan sudah sampai ke tingkat paling tinggi yaitu kasasi atau PK yang lalu bagi medianya. Kasus ini memang dianggap ada kejanggalan dengan rekayasa fakta dan bukti di persidangan. Karena pada prinsipnya semua lembaga profesi punya kode etik masing-masing,” tutup Indra. (*)