Kotak Kosong dan Kepatutan

08 September 2024

Catatan Oleh:
H.Rachmat Rolau
(Ketua Dewan Kehormatan PWI Kaltara)

INI obrolan lepas dari kedai kopi. Obrolan tidak beraturan karena memang tidak dibatasi aturan. Mereka ngomong suka-suka. Bebas bicara apa saja sebagai bentuk pelampiasan aspirasi warga yang tak terwakili oleh wakilnya di legislatif. Bahwa ketika dua orang atau lebih teman ngobrol, tentu yang dibahas tidak lain isu-isu hangat.  Dan isu hangat saat ini, pilkada.

Lalu pada sub tema obrolan kami, yakni, kotak kosong. Bukan otak kosong dan bukan pula omong kosong. Entah mengapa, seorang teman tiba-tiba meminta pandangan saya tentang kotak kosong itu. Katanya, sebagai wartawan senior yang punya pengalaman panjang mengikuti pilkada, apa pendapatnya ketika seorang calon kepala daerah berhadapan dengan kotak kosong?

Saya bilang, kalau benar nanti ada kepala daerah – apakah itu bupati atau walikota yang berkompetisi dengan kotak kosong, itu tandanya demokrasi di repiblik ini sedang tidak sehat. Tidak segar.  Artinya, partai politik yang begitu banyak gagal mengedukasi masyarakat tentang bagaimana hidup berdemokrasi secara ideal.

Demokrasi yang sehat adalah yang memberi  peluang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk maju sebagai pemimpin yang mengakomodir aspirasi akar rumput. Bukan pemimpin yang menguasai pertai atau semua partai ramai-ramai ‘kecebur’ dalam satu kolam. Jika sistem koalisi gemuk  terus dibangun dan menjadi tren politik, maka jangan harap masyarakat bisa menghasilkan pemimpin terbaik.

Melawan kotak kosong memang tidak melanggar aturan. Bahkan dibenarkan oleh undang-undang. Tetapi  di atas undang-undang masih ada moralitas yang menjadi rujukan semua peraturan. Sementara moral dasarnya asas kepatutan.

Memang, tidak seorang pun bisa menyalahkan tampilnya kotak kosong sebagai rivalitas calon kepala daerah. Tetapi akan lebih baik kalau ada pesaing yang akan bertanding memperebutkan suara mayoritas rakyat. Dari hasil pertandingan itulah diperoleh pemimpin terbaik, meski pun belum tentu baik di saat sudah duduk di kursi empuk.

Sangat tidak elok dalam sebuah negara besar seperti Indonesia yang dihuni lebih dari 270 juta penduduk beberapa calon kepala daerah terpaksa berhadapan dengan kotak kosong. Ini terkesan seperti tidak ada lagi calon pemimpin yang punya kemampuan.

Anehnya, fenomena kotak kosong terus meningkat. Menurut catatan google, hingga tahun 2024 ini, ada 43 kepala daerah di seluruh Indonesia yang akan berhadapan dengan kotak kosong. Sebelumnya tahun 2015 hanya ada 6 kotak ‘polos’ yang nongol sebagai calon ‘kepala daerah’.

Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PPU-XXXII/2024 tentang penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah harusnya dimanfaatkan oleh partai-partai unruk mengusung sendiri calon atau kadernya tanpa harus membangun koalisi terlalu gemuk.

Ini sangat tidak patut. Sayang, sesuatu yang tidak patut tidak dikenal di dalam undang-undang.  Asas kepatutan sesungguhnya hanya dapat wujudkan lewat moralitas dan pola pikir personal bahwa apakah hal tersebut perlu.

Pentingnya memperhatikan asas kepatutan, berikut saya kutuipkan putusan majelis hakim pengadilan di New Jersey – negara bagian Amerika Serikat yang mengesampingkan kekuatan hukum dan perundang-undangan serta memilih kepatutan sebagai dasar putusan.

Suatu waktu, Henningsen membeli sebuah mobil di Bloomfield, New Jersey. Dalam perjanjian terdapat klausul yang menjelaskan tanggung gugat produsen mobil hanya sebatas memperbaiki-bagian-bagian mobil yang cacat. Selebihnya produsen tidak bertanggungjawab.

Tidak lama terjadi kecelakaan. Henningsen menggugat produsen mobil untuk meminta biaya pengobatan. Padahal, Heniningsen sadar permintaannya tidak mungkin dikabulkan karena tidak tercantum dalam perjanjian kontrak yang mereka sepakati. Ternyata, majelis hakim pengadilan New Jersey mengabulkan semua gugatan Henningsen .

Majelis berpendapat, berdasarkan “asas kaptututan” produsen mobil harus bertanggungjawab atas cacat mobil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Dari kisah ini jelas, majelis hakim mengesampingkan kontrak yang berkekuatan hukum dan memilih kepatutan sebagai dasar putusan.

Dalam konteks demokrasi dan  kotak kosong, kepatutan perlu menjadi pertimbangan di dalam kehidupan berdemokrasi. Sebab, melawan kotak kosong sama dengan merusak demokrasi  dan menafikan potensi anak bangsa. (*)